Pada saat pelaksanaan UN dan UASBN masih belum di mulai hampir semua sekolah swasta maupun Negeri sudah membuka
pendaftaran, mulai dari TK hingga jenjang SMA. Saat ini, bukan hanya menulis
formulir pendaftaran saja yang harus dilakukan orang tua, tetapi mempersiapkan
anak untuk tes masuk dan menyiapkan kocek untuk membayar uang pangkal jika anak
diterima. Sekali lagi, walau UN atau UASBN nya belum berlangsung.
Walaupun dirasakan tidak etis, tapi bukan soal
system penerimaan siswa yang menjadi topik tulisan ini, karena toh saya tidak
bisa merubah “kebijakan ikutan“ yang ada. Bisa dikatakan, saat ini adalah masa berburu
sekolah, orang tua sibuk mencari informasi, mulai dari informasi yang didapat
lewat internet, bertanya kepada orang tua lainnya atau datang langsung ke
sekolah. Saya sendiri kebetulan menjadi salah satu sumber informasi sekolah
yang “baik”, bukan karena saya lebih pintar dari orang tua lainnya, tapi
semata-mata karena jumlah anak kami yang cukup banyak untuk sebuah keluarga
jaman sekarang, sehingga anak-anak kami ada disemua jenjang pendidikan.
Sebelum
kita membicarakan bagaimana mencari
sekolah yang “baik”, kita bicarakan dulu sekolah “unggulan”. Kenapa
sekolah unggulan? Karena sekolah unggulan pada umumnya sangat
diminati oleh orang tua, walaupun jarak dari tempat tinggal ke sekolah
jauh,
tetapi para orang tua dengan suka rela menempuhnya, demi anak mereka.
Padahal, definisi sekolah unggulan sendiri seringkali dipertanyakan
oleh
pakar-pakar pendidikan.
Karena pakar pendidikan saja belum tentu dapat
mendefinisikan apa itu sekolah unggulan, maka saya akan mendefinisikannya versi
saya.
Sekolah unggulan adalah, sekumpulan anak-anak cerdas dari sononya, dikumpulkan pada satu
sekolah kemudian di godog di dalamnya untuk menjadi lebih prima, demikian
seterusnya hingga masuk perguruan tinggi.
Artinya sekolah hanya menerima
input siswa yang sudah berprestasi, yang otomatis hasil outputnya juga akan
baik.
Atau, ada juga yang dimaksud dengan sekolah
unggulan yaitu sekolah yang menawarkan fasilitas mewah dengan uang pangkal dan
SPP yang tinggi. Selain itu, metode
belajarnya juga mempunyai “jurus” tersendiri, sehingga output yang dihasilkan
sesuai dengan yang dijanjikan.
Dalam bukunya Thomas Armstrong, The Best School; How Development Research Should Inform Educational Practice disebutkan dua wacana besar model sekolah. Pertama, sekolah Wacana Prestasi Akademik. Kedua, Wacana Perkembangan Manusia.
Dua
model sekolah ini mempunyai karakter masing-masing. Menurut Armstrong
model sekolah Wacana Perkembangan Manusia merupakan model yang baik.
Amstrong menentang sekolah Wacana Prestasi Akademik karena menjadi salah
satu penyebab hancur dan gagalnya pendidikan.
Dampak
negatif sekolah Wacana Prestasi Akademik yaitu mendorong pengajaran
hanya demi persiapan menghadapi ujian, mendorong siswa menyontek,
mendorong manipulasi hasil ujian oleh guru dan pegawai administrasi,
mengakibatkan tingkat stres yang berbahaya di kalangan pendidik dan
siswa.
Sekolah
Wacana Prestasi Akademik mengakibatkan munculnya kegiatan-kegiatan yang
tidak sesuai dengan perkembangan anak di semua tingkatan sekolah, mulai
dari prasekolah hingga sekolah atas. Anak kehilangan esensi belajar
yang sesuai dengan perkembangan dirinya.
Anak
didik dikondisikan untuk mengejar target akademik, yaitu untuk lulus
ujian semata meski dengan banyak melakukan kecurangan. Berbeda dengan
model sekolah Wacana Perkembangan Manusia yang mempunyai makna
mengungkap atau membuka potensi yang terdapat dalam diri manusia bahkan
mempunyai makna mengurai, membuka atau membebaskan manusia dari
keterkungkungan, kerumitan atau rintangan.
Maka,
inti pendidikan adalah bermakna dan memfasilitasi perkembangan manusia.
Wacana Perkembangan Manusia lebih mengukur pertumbuhan pembelajaran di
tengah pengalaman belajar itu sendiri.
Menyuarakan
pilihan-pilihan berkelanjutan untuk memfasilitasi perkembangan,
melengkapi lingkungan belajar yang aman, membangun kepercayaan dalam
lingkungan belajar, dan menggunakan pendekatan untuk mewadahi
pertumbuhan optimal. Thomas Armstrong menegaskan
bahwa Wacana Perkembangan Manusia berakar pada tradisi humanisme;
aliran pikiran filosofis yang mendukung harga diri dan nilai setiap
manusia.
Setiap
individu dipandang dan diakui sebagai manusia yang mempunya nilai
penting. Keunikan pada setiap individu menjadi kekayaan dunia pendidikan
yang berwawasan pada Wacana Perkembangan Manusia, dan tentunya
mempunyai dampak positif.
Dampak
positif model Wacana Perkembangan Manusia yaitu membuat siswa terlibat
dalam kegiatan belajar dan pembelajaran yang membuat mereka lebih siap
untuk turun ke dunia nyata. Membuat semua siswa berhasil dan berdiri di
bidang kekuatannya masingmasing.
Siswa
dapat mengembangkan kompetensi dan kualitas, akhirnya akan membantu
dalam membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Wacana Perkembangan
Manusia membantu memperbaiki masalah sosial yang mencemari remaja dalam
budaya masa kini yang terkotak-kotak, membantu siswa menjadi dirinya
sendiri.
Mengurangi
masalah disiplin di sekolah, mendorong inovasi dan keragaman program
belajar. Wacana Perkembangan Manusia, jika diimplementasikan pada
program pendidikan di setiap jenjang pendidikan,maka untuk tingkatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) diimplementasikan dalam bentuk permainan.
Permainan
bagi anak adalah satu-satunya cara terbaik untuk memenuhi persyaratan
perkembangan yang dapat ditempuh. Bermain adalah proses yang terus
berubah (dinamis) dan bersifat multiinderawi, interaktif, kreatif, dan
imajinatif. Pendidikan SD mengkhususkan kegiatan belajar untuk
mengetahui alam semesta.
Kegiatan
yang sesuai perkembangannya adalah ruangan kelas yang membuka dunia
nyata, membaca,menulis, dan matematika yang berhubungan dengan penemuan
dunia nyata. Bahan pelajaran sifatnya autentik, mengeksplorasi dunia
nyata yang dipandu oleh guru dan belajar berdasarkan pertemuannya dengan
dunia nyata.
Pada
tingkatan SMP, proses pendidikan difokuskan pada perkembangan sosial,
emosional dan meta-kognitif. Pada masa ini peserta didik dalam posisi
remaja awal; masa sosial yang intens, ketika rasa ingin tahu untuk
menjadi bagian dari sesuatu, komunitas, status sosial, dan kedekatan
emosional memberikan konteks tempat bagi remaja dalam menemukan jati
dirinya.
Maka
kaum remaja ini membutuhkan; suasana aman di sekolah, komunitas belajar
kecil, hubungan antar-orang dewasa (guru, orang tua, lingkungan) yang
bersahabat, panutan yang positif, aktivitas seni yang ekspresif,
perhatian pada kesehatan dan kebugaran mengingat pada usia tersebut akan
mengalami perubahan pubertas.
Pada
tingkat SMA siswa difokuskan pada hidup mandiri di dunia nyata. Siswa
lebih difokuskan untuk kehidupan mereka setelah sekolah.
Nah mari kita kenali anak kita, apa yang
terbaik untuk anak kita.
Allah SWT menciptakan makhluknya tidaklah
sama, antara kakak dan adik masing-masing mempunyai keunikan tersendiri, bahkan
sampai sepasang anak kembar pun pasti mempunyai perbedaan.
Mengapa kita harus memaksakan anak kita untuk
mendapatkan nilai tinggi untuk pelajaran yang bukan menjadi bakat mereka?
Bagaimana jika cara berpikir orang tua yang
dirubah, tidak lagi dengan istilah sekolah unggulan, tetapi “sekolah efektif”.
Sehingga kalimatnya menjadi “saya akan mencari sekolah yang efektif bagi anak
saya”.
Mengapa demikian? Karena orang tua menyadari bahwa mereka akan mencarikan sekolah yang
menyenangkan bagi anak-anaknya.
Ciri-ciri sekolah efektif yaitu :
a. Kepemimpinan,
perhatian dan pemahaman Kepala Sekolah terhadap kualitas pengajaran
b. Suasana yang
nyaman dan tertib
c. Semua siswa
minimal menguasai ilmu tertentu
d. Penilaian siswa
atas dasar proses belajar, bukan hanya hasil akhir.
Selain itu, kita intip kemampuan professional guru dengan menilai :
a. Tingkat
penguasaan guru terhadap bahan pelajaran
b. Gaya atau seni
dalam mengajar
c. Pemanfaatan
fasilitas belajar efektif dan efisien
d. Pemahaman guru
terhadap karakter kelompok atau individu siswa
e. Kemampuan
berdialog dengan siswa, sehingga tercipta lingkungan belajar yang menyenangkan.
Author : G
Tidak ada komentar:
Posting Komentar